daun

Jumat, 04 Oktober 2013

Sejarah Masuknya Islam

Penyebaran Islam (1200 - 1600)
Berbagai teori perihal masuknya Islam ke
Indonesia terus muncul sampai saat ini.
Fokus diskusi mengenai kedatangan
Islam di Indonesia sejauh ini berkisar
pada tiga tema utama, yakni tempat asal
kedatangannya, para pembawanya, dan
waktu kedatangannya.[1] Mengenai
tempat asal kedatangan Islam yang
menyentuh Indonesia, di kalangan para
sejarawan terdapat beberapa pendapat.
Ahmad Mansur Suryanegara
mengikhtisarkannya menjadi tiga teori
besar. Pertama, teori Gujarat, India. Islam
dipercayai datang dari wilayah Gujarat –
India melalui peran para pedagang India
muslim pada sekitar abad ke-13 M. Kedua,
teori Makkah. Islam dipercaya tiba di
Indonesia langsung dari Timur Tengah
melalui jasa para pedagang Arab muslim
sekitar abad ke-7 M. Ketiga, teori Persia.
Islam tiba di Indonesia melalui peran para
pedagang asal Persia yang dalam
perjalanannya singgah ke Gujarat
sebelum ke nusantara sekitar abad ke-13
M.[1]. Melalui Kesultanan Tidore yang juga
menguasai Tanah Papua, sejak abad
ke-17, jangkauan terjauh penyebaran
Islam sudah mencapai Semenanjung Onin
di Kabupaten Fakfak, Papua Barat.
Kalau Ahli Sejarah Barat beranggapan
bahwa Islam masuk di Indonesia mulai
abad 13 adalah tidak benar, HAMKA
berpendapat bahwa pada tahun 625 M
sebuah naskah Tiongkok mengkabarkan
bahwa menemukan kelompok bangsa
Arab yang telah bermukim di pantai Barat
Sumatera (Barus) [2]. Pada saat nanti
wilayah Barus ini akan masuk ke wilayah
kerajaan Srivijaya.
Pada tahun 674 M semasa pemerintahan
Khilafah Islam Utsman bin Affan,
memerintahkan mengirimkan utusannya
(Muawiyah bin Abu Sufyan) ke tanah Jawa
yaitu ke Jepara (pada saat itu namanya
Kalingga). Hasil kunjungan duta Islam ini
adalah raja Jay Sima, putra Ratu Sima dari
Kalingga, masuk Islam [3].
Pada tahun 718M raja Srivijaya Sri
Indravarman setelah kerusuhan Kanton
juga masuk Islam pada masa khalifah
Umar bin Abdul Aziz (Dinasti Umayyah).
Sanggahan Teori Islam Masuk Indonesia
abad 13 melalui Pedagang Gujarat
Teori Islam Masuk Indonesia abad 13
melalui pedagang Gujarat, menurut
pendapat sebagian besar orang, adalah
tidaklah benar. Apabila benar maka
tentunya Islam yang akan berkembang
kebanyakan di Indonesia adalah aliran
Syi'ah karena Gujarat pada masa itu
beraliran Syiah, akan tetapi kenyataan
Islam di Indonesia didominasi Mazhab
Syafi'i.
Sanggahan lain adalah bukti telah
munculnya Islam pada masa awal dengan
bukti Tarikh Nisan Fatimah binti Maimun
(1082M) di Gresik.
Masa kolonial
Anak-anak mengaji Al Quran
di Jawa pada masa kolonial
Hindia Belanda
Pada abad ke-17 masehi atau tahun 1601
kerajaan Hindia Belanda datang ke
Nusantara untuk berdagang, namun pada
perkembangan selanjutnya mereka
menjajah daerah ini. Belanda datang ke
Indonesia dengan kamar dagangnya, VOC,
sejak itu hampir seluruh wilayah
Nusantara dikuasainya kecuali Aceh. Saat
itu antara kerajaan-kerajaan Islam di
Nusantara belum sempat membentuk
aliansi atau kerja sama. Hal ini yang
menyebabkan proses penyebaran
dakwah terpotong.
Dengan sumuliayatul (kesempurnaan)
Islam yang tidak ada pemisahan antara
aspek-aspek kehidupan tertentu dengan
yang lainnya, ini telah diterapkan oleh
para ulama saat itu. Ketika penjajahan
datang, para ulama mengubah pesantren
menjadi markas perjuangan, para santri
(peserta didik pesantren) menjadi
jundullah (pasukan Allah) yang siap
melawan penjajah, sedangkan ulamanya
menjadi panglima perang. Potensi-potensi
tumbuh dan berkembang di abad ke-13
menjadi kekuatan perlawanan terhadap
penjajah. Ini dapat dibuktikan dengan
adanya hikayat-hikayat pada masa
kerajaan Islam yang syair-syairnya berisi
seruan perjuangan. Para ulama
menggelorakan jihad melawan penjajah
Belanda. Belanda mengalami kewalahan
yang akhirnya menggunakan strategi-
strategi:
Politik devide et impera, yang pada
kenyataannya memecah-belah atau
mengadu domba antara kekuatan ulama
dengan adat, contohnya perang Padri di
Sumatera Barat dan perang Diponegoro
di Jawa.
Mendatangkan Prof. Dr. Snouk Cristian
Hourgonye alias Abdul Gafar, seorang
Guru Besar ke-Indonesiaan di Universitas
Hindia Belanda, yang juga seorang
orientalis yang pernah mempelajari Islam
di Mekkah. Dia berpendapat agar
pemerintahan Belanda membiarkan umat
Islam hanya melakukan ibadah mahdhoh
(khusus) dan dilarang berbicara atau
sampai melakukan politik praktis.
Gagasan tersebut dijalani oleh
pemerintahan Belanda dan salah satunya
adalah pembatasan terhadap kaum
muslimin yang akan melakukan ibadah
Haji, karena pada saat itulah terjadi
pematangan pejuangan terhadap
penjajahan.[4]
Di akhir abad ke-19, muncul ideologi
pembaruan Islam yang diserukan oleh
Jamal-al-Din Afghani dan Muhammad
Abduh. Ulama-ulama Minangkabau yang
belajar di Kairo, Mesir banyak berperan
dalam menyebarkan ide-ide tersebut, di
antara mereka ialah Muhammad Djamil
Djambek dan Abdul Karim Amrullah.
Pembaruan Islam yang tumbuh begitu
pesat didukung dengan berdirinya
sekolah-sekolah pembaruan seperti
Adabiah (1909), Diniyah Putri (1911), dan
Sumatera Thawalib (1915). Pada tahun
1906, Tahir bin Jalaluddin menerbitkan
koran pembaruan al-Iman di Singapura
dan lima tahun kemudian, di Padang

Tidak ada komentar:

Posting Komentar