A.
SIDANG PPKI TANGGAL 18 AGUSTUS 1945
Suasana sidang PPKI setelah dibacakan Proklamasi Kemerdekaan RI di gedung Cuo Sangi-In, Jalan Pejambon, Jakarta.
Setelah
proklamasi, kesibukan para pemimpn nasional adalah mengatur tatanan kenegaraan.
Untuk itu, pada tanggal 18 Agustus 1945 Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia
(PPKI) mengadakan rapat pertama setelah proklamasi. Sebelum sidang dimulai,
Soekarno-Hatta berencana untuk menambah 6 anggota baru PPKI yang sebagian dari
golongan muda, yaitu Sukarni, Chairul Saleh, dan Wikana. Akan tetapi, golongan
muda itu kurang berkenan. Mereka masih menganggap PPKI adalah suatu badan yang
dibentuk oleh Jepang dan bekerja hanya untuk Jepang. Oleh karena itu, Ir.
Soekarno hanya mengumumkan 6 anggota baru, yaitu Wiranatakusumah, Ki Hajar
Dewantara, Mr. Kasman Singodimedjo, Sajuti Melik, Mr. Iwa Kusumasumantri, dan
Mr. Achmad Subardjo.
I.
Pembahasan dan Pengesahan Undang-Undang Dasar
Rapat
PPKI pertama dilakukan di Gedung Cuo
Sangi-In, Jalan Pejambon. Sebelum rapat dimulai, Soekarno-Hatta meminta Ki
Bagus Hadikusumo, K.H. Wahid Hasyim, Mr. Kasman Singodimedjo, dan Mr. Teuku
Mohammad Hassa untuk membahas kembali Piagam
Jakarta, khususnya mengenai kalimat “Ketuhanan
dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk- pemeluknya-.” Hal
tersebut disebabkan karena pemeluk agama lain di Indonesia merasa keberatan
terhadap kalimat tersebut. Akhirnya, rapat yang dipimpin oleh Bung Hatta ini
yang hanya cukup dalam waktu 15 menit saja berhasil mencapai suatu buah
kesepakatan untuk melakukan suatu perubahan terhadap kalimat tersebut menjadi “Ketuhanan Yang Maha Esa.”
Rapat
dilanjutkan dengan pembahasan pasal-pasal dalam Rancangan Undang-Undang Dasar.
Pembahasan itu mengenai menghasilkan perubahan-perubahan kecil pada pasal-pasal
dalam batang tubuh. Selanjutnya, sidang menetapkan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia yang dikenal sebagai Undang-Undang
Dasar ’45, yang di dalamnya memuat Pancasila
sebagai dasar negara.
Sedangkan
perubahan-perubahan terhadap UUD itu sendiri adalah sebagai berikut.
1.)
Perubahan pada Pembukaan UUD 1945
a.
Kata “Mukadimah” diganti menjadi “Pembukaan”
b.
Dalam Preambule (Piagam Jakarta), anak kalimat “Atas berkat Rahmat Allah”,
diganti dengan kalimat “Atas Berkat rahmat Tuhan Yang Maha Esa”. Namun,
penggantian itu hingga sekarang dikembalikan lagi kepada bentuk semula, yaitu
“Atas Berkat Rahmat Allah Yang Maha Kuasa…”
c.
Alinea ke-4, pada kalimat “Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam
bagi pemeluk-pemeluknya” diubah menjadi “Ketuhanan Yang Maha Esa”.
2.)
Perubahan terhadap Batang Tubuh
a.
Pasal 4 (1) yang berbunyi, “Presiden
Republik Indonesia memegang kekuasaan pemerintahan menurut Undang-Undang Dasar”.
Sebelumnya kalimat tersebut tidak berbunyi demikian.
b.
Pasal 4 (2), “…dua orang wakil presiden”
diganti menjadi “seorang wakil presiden”.
c.
Pasal 6 ayat 1, yang semula terdapat kalimat “beragama Islam” sekarang dihapuskan.
d.
Pasal 6 ayat 2, perkataan “wakil-wakil
presiden”, dihapus sehingga hanya “wakil
presiden” saja.
e.
Pasal 9, kata “Mengabdi” diganti
menjadi “berbakti".
f.
Pasal 23 ayat 2, ditambahkan kata-kata “hasil
pemeriksaan itu diberitahukan kepada Dewan Perwakilan Rakyat”.
g.
Pasal 25, sebelumnya berbunyi, “syarat
untuk menjadi hakim ditetapkan oleh Undang-Undang”. Ditambahkan sehingga
berbunyi, “syarat-syarat untuk menjadi
dan diberhentikan sebagai hakim ditetapkan oleh Undang-Undang”.
II.
Pengangkatan Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia
Otto Iskandardinata, anggota Komite Nasional bertugas membantu Presiden selama MPR dan DPR belum terbentuk.
Acara
pertama dalam rapat PPKI tersebut adalah pemilihan presiden. Otto
Iskandardinata mengusulkan agar pemilihan presiden dilakukan secara aklamasi (yaitu kesepakatan yang dicapai
secara spontan tanpa melalui proses pemungutan suara). Beliau mengajukan Ir.
Soekarno sebagai perseden dan Drs. Moh. Hatta sebagai wakil presiden. Usul
tersebut disetujui oleh hadirin yang dilanjutkan dengan menyanyikan lagu Indonesia Raya.
III.
Pembentukan Komite Nasional
Rapat
PPKI pada tanggal 18 Agustus 1945 juga berhasil memutuskan pembentukan sebuah Komite Nasional untuk membantu presiden
selama Majelis Permusyawaratan Rakyat dan Dewan Perwakilan Rakyat belum
terbentuk. Sebelum rapat PPKI ditutup, presiden meminta 9 orang anggota sebagai
Panitia Kecil untuk membahas hal-hal yang meminta perhatian mendesak, seperti
pembagian wilayah negara, kepolisian, tentara kebangsaan, dan perekonomian.
Panitia Kecil ini dipimpin oleh Otto Iskandardinata.
B. SIDANG PPKI TANGGAL 19 AGUSTUS 1945
I.
Pembagian Wilayah Indonesia
Rapat
dilanjutkan keesokan harinya, pada tanggal 19 Agustus 1945 pukul 10.00 pagi di
Gedung Cuo Sangi-In. Rapat itu
membahas hasil kerja Panitia Kecil yang dipimpin oleh Otto Iskandardinata dan
menghasilkan keputusan berikut ini.
1.)
Pembagian wilayah Indonesia menjadi delapan provinsi beserta para calon
gubernurnya sebagai berikut.
a.
Jawa Barat : Sutarjo Kartohadikusumo.
b.
Jawa Tengah : R.P. Suroso.
c.
Jawa Timur : Suryo.
d.
Borneo (Kalimantan) : Ir. Mohammad Noor.
e.
Sulawesi : Dr. Sam Ratulangi.
f.
Maluku : Mr. Latuharhary.
g.
Sunda Kecil (Nusa Tenggara) : Mr. Ketut Pudja.
h.
Sumatra : Mr. T. Mohammad Hassan.
Serta
dua daerah istimewa, yaitu Yogyakarta dan Surakarta.
2.)
Pembentukan Komite Nasional (Daerah).
II.
Menetapkan Kementerian dalam Lingkungan Pemerintahan
Acara
selanjutnya adalah laporan hasil kerja Panitia Kecil yang dipimpin oleh Mr.
Ahmad Subardjo. Panitia itu mengusulkan dibentuknya 13 kementerian. Setelah
dilakukan pembahasan, sidang memutuskan adanya 12 kementerian dan satu menteri
negara. Kedua belas kementerian itu sebagai adalah berikut.
1.
Departemen Dalam Negeri
2.
Departemen Luar Negeri
3.
Departemen Kehakiman
4.
Departemen Keuangan
5.
Departemen Kemakmuran
6.
Departemen Kesehatan
7.
Departemen Pengajaran, Pendidikan, dan Kebudayaan
8.
Departemen Sosial
9.
Departemen Pertahanan
10.
Departemen Perhubungan
11.
Departemen Penerangan
12.
Departemen Pekerjaan Umum
Rapat
selanjutnya kembali membahas masalah-masalah kebangsaan. Rapat PPKI pada hari
kedua itu berakhir pada pukul 14.55 WIB. Dalam perjalanan pulang, presiden dan
wakil presiden hadir memenuhi undangan rapat golongan muda yang dilaksanakan di
Jalan Prapatan 10. Dalam rapat tersebut, para pemuda meminta presiden dan wakil
presiden melakukan perebutan kekuasaan terhadap Jepang yang diatur secara cepat
dan serentak. Selanjutnya, Adam Malik membacakan pernyataan tentang lahirnya Tentara Republik Indonesia (TRI) yang
berasal dari bekas anggota PETA dan Heiho. Bung Karno menyetujui usulan
tersebut, akan tetapi pelaksanaannya belum dapat dilakukan saat itu. Rapat
kemudian usai juga.
C.
SIDANG PPKI TANGGAL 22 AGUSTUS 1945
Rapat
PPKI pada tanggal 22 Agustus 1945 memiliki agenda utama membahas Komite
Nasional Indonesia Pusat (KNIP), Partai Nasional Indonesia (PNI), dan
Pembentukan Badan Keamanan Rakyat (BKR).
I.
Pembentukan Komite Nasional Indonesia Pusat
Inti
dari anggota KNIP ialah anggota PPKI. Di samping itu, anggota KNIP juga berasal
dari tokoh-tokoh golongan muda dan tokoh-tokoh masyarakat dari berbagai daerah
sehingga jumlahnya mencapai 137 orang. Anggota KNIP secara resmi dilantik pada
tanggal 29 Agustus 1945 di Gedung Kesenian, Pasar Baru, Jakarta. Sidang KNIP
pertama kali ini berhasil memilih Kasman Singodimedjo (Ketua) dan Sutardjo
(Wakil Ketua I), Latuharhary (Wakil Ketua II), dan Adam Malik (Wakil Ketua
III). Adapun Komite Nasional Daerah saat itu gagal dibentuk karena situasi dan
kondisi keamanan yang belum menentu dan membaik.
II.
Pembentukan Partai Nasional Indonesia
Pembentukan
Partai Nasional Indonesia (PNI) bertujuan menjadikannya sebagai partai tunggal
di Indonesia yang baru merdeka. Tujuan PNI seperti yang juga disebutkan dalam
risalah sidang PPKI adalah “Negara
Republik Indonesia yang berdaulat, adil, dan makmur berdasarkan kedaulatan
rakyat.” Susunan pengurus PNI di antaranya sebagai berikut.
Pemimpin
Utama : Ir. Soekarno
Pemimpin
Kedua : Drs. Moh. Hatta
Dewan
Pemimpin : Mr. Gatot Tarunamihardja,
Mr. Iwa Kusumasumantri, Mr. A.A. Maramis, Sayuti Melik, dan Mr. Sujono.
III.
Pembentukan Badan Keamanan Rakyat (BKR)
Sehubungan
dengan pembentukan tentara kebangsaan itu, beberapa hal yang diputuskan oleh
PPKI adalah sebagai berikut.
1.)
Rencana pembelaan negara oleh BPUPKI yang mengandung politik peperangan tidak
diterima karena bangsa Indonesia menjalankan politik perdamaian.
2.)
PETA di Jawa dan di Bali, serta lascar rakyat di Sumatera segera dibubarkan.
3.)
Para anggota HEIHO dengan segera diberhentikan.
4.)
Untuk kedaulatan negara Republik Indonesia merdeka, tentara kebangsaan
Indonesia harus segera dibentuk oleh Presiden.
4.)
Sebagai tindak lanjut dari keputusan tersebut, dibentuklah Badan Keamanan Rakyat (BKR) sebagai pengganti Badan Penolong Korban Perang (BPKP) yang dibentuk pada sidang PPKI
tanggal 20 Agustus 1945.
D.
PERUBAHAN OTORITAS KNIP DAN LEMBAGA KEPRESIDENAN
Kebanyakan
negara-negara yang baru merdeka memilih bentuk pemerintahan demokrasi. Bentuk
pemerintahan itu dianggap lebih baik daripada system kerajaan. Di Indonesia,
sejak masa pergerakan nasional sudah mendambakan system pemerintahan yang
demokratis. Salah cirinya adalah adanya Dewan Perwakilan Rakyat (Parlemen) yang
anggota-anggotanya dipilih langsung oleh rakyat. Bentuk dan pola pemerintahan yang dianut oleh
para pemimpin Indonesia pada waktu itu adalah penerapan demokrasi yang ada di
negeri Belanda yang berdasarkan multipartai, yaitu system pemerintahan
parlementer. Hal itu disebabkan pada masa pergerakan nasional, banyak kaum
cendekiawan Indonesia yang menuntut ilmu di negeri Belanda.
I.
Kabinet Presidensial Pertama
Kabinet pertama RI yang terdiri dari Perdana Menteri, Presiden Soekarno dan dibantu oleh 17 menteri dan 4 pejabat tinggi.
Susunan
kementerian pertama yang berhasil disusun sesuai dengan ketentuan UUD 1945
ditetapkan pada tanggal 2 September 1945 dipimpin oleh Presiden Soekarno. Dalam
kabinet presidensial ini, presiden berperan sebagai pemimpin kabinet dan
kabinet bertanggung jawab kepada presiden. Susunan kabinet pertama RI sebagai
berikut.
Perdana
Menteri : Ir. Soekarno
Menteri
Dalam Negeri : R.A.A Wiranatakusumah
Menteri
Luar Negeri : Mr. Ahmad
Subardjo
Menteri
Kehakiman : Prof. Dr.
Soepomo, S.H.
Menteri
Kemakmuran : Ir. D.P.
Surakhman
Menteri
Keuangan : Mr. A.A. Maramis
Menteri
Kesehatan : Dr. R. Boentaran M.
Menteri
Pengajaran : Ki Hajar Dewantara
Menteri
Sosial : Mr. Iwa Kusumasumantri
Menteri
Penerangan : Mr. Amir Syarifuddin
Menteri
Perhubungan : R. Abikusno Cokrosuyoso
Menteri
Keamanan Rakyat : Suprijadi
Menteri
Pekerjaan Umum : R. Abikusno Cokrosuyoso
Menteri
Negara : K.H. Wachid Hasyim
Menteri
Negara : Dr. M. Amir
Menteri
Negara : Mr. R.M Sartono
Menteri
Negara : R. Otto Iskandardinata
Menteri
Negara : Mr. A.A. Maramis
Di
samping itu juga diangkat sejumlah pejabat tinggi negara, yaitu sebagai
berikut.
Ketua
Mahkamah Agung : Dr. Mr. Kusumaatmadja
Jaksa
Agung : Mr. Gatot Tarunamihardja
Sekretaris
Negara : Mr. A.G. Pringgodigdo
Juru
Bicara Negara : Sukardjo Wirjopranoto
Karena
pengaruh dari golongan kiri dalam KNIP, usia kabinet itu tidak berlangsung
lama, yaitu sejak tanggal 2 September 1945 hingga 14 November 1945. Sejak
tanggal 14 November 1945, system pemerintahan di Indonesia berubah menjadi
system kabinet parlementer dengan perdana menteri pertamanya, Sultan Syahrir.
II.
Maklumat Pemerintah No. X Tanggal 16 Oktober 1945
Suasana dalam sidang KNIP. KNIP yang dipimpin oleh Sutan Syahrir berhasil menyusun kekuatan dan membentuk BP-KNIP.
Pada
bulan Oktober 1945, kelompok kiri (Sosialis) dalam KNIP yang dipimpin Sultan Syahrir berhasil menyusun
kekuatan dan mendorong dibentuknya Badan
Pekerja Komite Nasional Indonesia (BP-KNIP). Langkah berikut dari kelompok
sosialis itu adalah mendorong terbentuknya kabinet Parlementer. Sebagai langkah
awal pembentukan pemerintahan parlementer adalah mengubah fungsi KNIP dari
hanya sekadar badan penasihat menjadi badan legislatif untuk selamanya. Untuk
tujuan itu, mereka mengumpulkan dukungan sebanyak 50 buah tanda tangan dari 150
anggotanya.
Pada
tanggal 7 Oktober 1945, petisi yang dihasilkan diserahkan kepada Presiden Ir.
Soekarno. Adapun alasan yang diajukan BP-KNIP untuk memperkuat usulannya
tersebut, adalah sebagai berikut.
a.
Adanya kesan politik bahwa kekuasaan presiden yang terlalu besar sehingga
dikhawatirkan akan menjadi pemerintahan yang bersifat dictator.
b.
Adanya propaganda Belanda melalui NICA yang menyiarkan isu politik bahwa
pemerintahan RI adalah pemerintahan yang bersifat Fasis, yang menganut sistem
pemerintahan Jepang sebelum Perang Dunia II. Oleh karena itu, Belanda
menganjurkan kepada dunia internasional agar tidak mengakui kedaulatan RI.
Namun sebenarnya, ini adalah semacam politik Revanche Idea (Politik Balas Dendam) dari Belanda kepada Indonesia,
karena kekecewaannya telah kehilangan tanah jajahannya, Hindia-Belanda.
c.
Untuk menunjukkan kepada dunia Internasional, khususnya pihak Sekutu, bahwa
Indonesia yang baru saja merdeka adalah demokrasi bukan negara Fasis buatan
Jepang.
Dalam
kondisi politik yang belum stabil, usul BP-KNIP tersebut dengan mudah diterima
oleh pemerintah. Selanjutnya, pemerintah mengeluarkan Maklumat Pemerintah No. X 16 Oktobe 1945. Maklumat tersebut
ditandatangani oleh Wakil Presiden Moh. Hatta dalam Kongres KNIP pada tanggal
16 Oktober 1945. Isi maklumat tersebut terdiri dari dua materi pokok berikut
ini.
a.
Sebelum terbentuknya MPR dan DPR, KNIP diserahi kekuasaan legislative dan ikut
menetapkan Garis-Garis Besar Haluan Negara.
b.
Berhubung dengan gentingnya keadaan, pekerjaan KNIP sehari-hari dijalankan oleh
suatu Badan Pekerja yang dipilih di antara mereka dan bertanggung jawab kepada
Komite Nasional Pusat.
Dengan
dikeluarkannya Maklumat Pemerintah No. X tersebut, kekuasaam presiden, hanya
dalam bidang eksekutif. Dengan demikian, kedudukan presiden seperti yang
diamanatkan dalam UUD 1945 dapat dilaksanakan sebagaimana mestinya. KNIP
sebagai badan pembantu presiden dan sebagai lembaga pengganti MPR dan DPR
sebelum terbentuk, dapat melaksanakan fungsi sebagai badan legislative.
III.
Maklumat Pemerintah Tanggal 3 November 1945
Pada
tanggal 30 Oktober 1945, BP-KNIP mengusulkan kepada pemerintah agar memberkan
kesempatan kepada rakyat seluas-luasnya untuk mendirikan partai-partai politik
sebagai sarana penyaluran berbagai aspirasi dan paham yang berkembang di
masyarakat. Selain itu, pembentukan partai politik juga merupakan persiapan
bagi pembentukan Dewan Perwakilan Rakyat yang direncanakan akan diselenggarakan
pada bulan Januari 1946. Pemerintah menyetujui usul tersebut jika keberadaan
partai-partai politik itu dapat memperkuat perjuangan bangsa Indonesia dalam
mempertahankan kemerdekaan dan menjamin keamanan masyarakat. Persetujuan
pemerintahan itu diwujudkan dengan dikeluarkannya Maklumat Pemerintah tanggal 3 November 1945 yang ditandatangani
oleh wakil presiden. Isinya antara lain menyatakan :
“Pemerintah menyukai timbulnya partai-partai
politik, karena dengan adanya partai-partai itulah dapat dipimpin ke jalan yang
teratur segala aliran paham yang ada dalam masyarakat.”
Sehubungan
dengan hal itu, pada bulan November dan Desember 1945 para pemimpin rakyat
sibuk membentuk partai-partai politik, seolah-olah negara sedang dalam keadaan
aman. Padahal di beberapa tempat, seperti di Surabaya, pertempuran antara BKR
dan pasukan Sekutu sedang bergelora.
Beberapa
partai politik yang muncul setelah dikeluarkannya Maklumat Pemerintah tanggal 3
November 1945 adalah sebagai berikut.
1.
Masyumi
(Majelis Syuro Muslimin Indonesia) berdiri pada tanggal 7 November 1945,
dipimpin oleh Dr. Sukiman Wirjosanjoyo.
2.
PKI
(Partai Komunis Indonesia) berdiri pada tanggal 7 November 1945, dipimpin oleh
Moh. Yusuf. Sebenarnya partai ini telah didirikan pada tanggal 21 Oktober 1945.
3.
PBI
(Partai Buruh Indonesia) berdiri pada tanggal 8 November 1945, dipimpin oleh
Nyono.
4.
PRJ
(Partai Rakyat Jelata) berdiri pada tanggal 8 November 1945, dipimpin oleh
Sutan Dewanis.
5.
Parkindo
(Partai Kristen Indonesia) berdiri pada tanggal 10 November 1945, dipimpin oleh
Probowinoto.
6.
Parsi
(Partai Sosialis Indonesia) berdiri pada tanggal 10 November 1945, dipimpin
oleh Amir Syarifuddin.
7.
Paras
(Partai Rakyat Sosialis) berdiri pada tanggal 20 November 1945, dipimpin oleh
Sutan Syahrir. Parsi dan Paras kemudian bergabung menjadi
Partai Sosialis yang dipimpin oleh Sutan Syahrir, Amir Syarifuddin, dan Oei
Hwee Goat, pada bulan Desember 1945.
8.
PKRI
(Partai Katholik Republik Indonesia) berdiri pada tanggal 8 Desember 1945,
dipimpin oleh I.J. Kasimo.
9.
Permai
(Persatuan Rakyat Marhaen) berdiri pada tanggal 17 Desember 1945, didirikan
oleh J.B. Assa.
10.
PNI
(Partai Nasional Indonesia) berdiri pada tanggal 29 Januari 1946, dipimpin oleh
Sidik Joyosukarto. PNI didirikan sebagai gabungan dari PRI (Partai Rakyat
Indonesia), Gerindo (Gerakan Rakyat Indonesia), dan Sarekat Rakyat Indonesia yang
masing-masing telah berdiri pada bulan November dan Desember 1945.
IV.
Maklumat Pemerintah Tanggal 14 November 1945
Sejak
permulaan bulan Oktober 1945, beberapa tokoh seperti Supeno, Sukarni, Ir.
Sakirman, dan Mangunsarkoro bersama anggota KNIP lainnya sudah berencana
mengubah sistem pemerintahan presidensial menjadi sistem parlementer sehingga
kabinet bertanggung jawab langsung kepada KNIP sebagai pemegang kekuasaan
legislative. Untuk itu, mereka merencanakan akan mengajukan mosi tidak percaya
kepada kabinet yang ada dengan tujuan menjatuhkan kabinet tersebut. Kemudian,
mereka akan menunjuk Sutan Syahrir menjadi perdana menteri dan formatur kabinet
baru.
Pembentukan
pemerintahan parlementer juga diharapkan dapat mengurangi peranan presiden yang
dianggap terlalu besar. Selanjutnya, BP-KNIP secara resmi mengajukan usul
kepada pemerintah mengenai pertanggungjawaban menteri-menteri kepada suatu
“Perwakilan Rakyat” (KNIP). Pada tanggal 14 November 1945, pemerintah
menyetujui usulan BP-KNIP untuk mengubah bentuk kabinet presidensial menjadi
kabinet parlementer. Persetujuan pemerintah tersebut diumumkan melalui Maklumat Pemerintah Tanggal 14 November 1945
yang berbunyi:
“Pemerintah Republik
Indonesia setelah mengalami ujian-ujian yang hebat dengan selamat, dalam
tingkatan pertama dari usahanya menegakkan diri, merasa bahwa saat sekarang
sudah tepat untuk menjalankan macam-macam tindakan darurat guna menyempurnakan
tata usaha negara kepada susunan demokrasi. Yang terpenting dalam
perubahan-perubahan susunan kabinet baru itu ialah, tanggung jawab adalah di
dalam tangan menteri.”
KNIP
dalam sidang ketiga tanggal 25-27 November 1945 menyetujui pula adanya
pertanggungjawaban menteri tersebut dengan kata-kata “… membenarkan kebijakan presiden perihal mendudukkan perdana menteri
dan menteri-menteri yang bertanggung jawab kepada Komite Nasional Indonesia
Pusat sebagai suatu langkah yang tidak dilarang oleh Undang-Undang Dasar dan
perlu dalam keadaan sekarang.”
Sistem
kabiner parlementer berlaku sejak tanggal 14 November 1945 hingga 27 Desember
1949. Selama masa berlakunya UUD 1945 tahap pertama, terdapat Sembilan kali
pergantian kabinet, antara lain sebagai berikut.
1.)
Kabinet Presidensial Pertama, 2 September 1945-14 November 1945.
2.)
Kabinet Syahrir I, 14 November 1945-12 Maret 1946.
3.)
Kabinet Syahrir II, 12 Maret 1946-20 Oktober 1946.
4.)
Kabinet Syahrir III, 20 Oktober 1946-27 Juni 1947.
5.)
Kabinet Amir Syarifuddin I, 3 Juli 1947-11 November 1947.
6.)
Kabinet Amir Syarifuddin II, 11 November 1947-29 Januari 1948.
7.)
Kabinet Hatta I (Presidensial), 29 Januari 1948-4 Agustus 1948.
8.)
Kabinet Darurat (PDRI), 19 Desember 1948-13 Juli 1949.
9.)
Kabinet Hatta II (Presidensial), 4 Agustus 1949-20 Agustus 1949.
E.
PEMBENTUKAN KEKUATAN PERTAHANAN DAN KEAMANAN
I.
Pembentukan BKR
Pada
tanggal 23 Agustus 1945, Presiden Soekarno dalam pidato di radio menyatakan
pembentukan tiga badan baru, yaitu sebagai berikut.
1.
Komite Nasional (KNI),
2.
Partai Nasional Indonesia (PNI), dan
3.
Badan Keamanan Rakyat (BKR).
BKR
bertugas menjaga keamanan umum di daerah-daerah di bawah koordinasi KNI daerah.
Sebagian golongan muda menyambut dengan kecewa pidato presiden tersebut karena
mereka menghendaki agar pemerintah segera membentukan tentara nasional, bukan
sekadar BKR. Akan tetapi, sebagian yang lain terutama mantan tentara PETA,
KNIL, dan Heiho menanggapinya dengan segera membentuk BKR di daerahnya masing-masing
dan memanfaatkannya sebagai wadah perjuangan.
Di
Jakarta, bekas tentara PETA membentuk BKR Pusat dengan tujuan agar BKR daerah
dapat dikoordinasikan secara terpusat. Tokoh yang terpilih sebagai pemimpin BKR
Pusat itu ialah Kasman Singodimedjo,
bekas Daidanco di Kota Jakarta.
Setelah Kasman diangkat sebagai Ketua KNIP, kedudukannya sebagai Ketua BKR
digantikan oleh Kaprawi (Ketua Umum), Sutalaksana (Ketua I), Latief
Hendraningrat (Ketua II), dan dibantu oleh Arifin Abdurachman, Mahmud, dan Zulkifli
Lubis. Mereka melakukan kontak dengan para bekas perwira KNIL di Jakarta,
Bandung, dan pimpinan BKR di daerah-daerah, seperti Jawa Timur (Drg. Moetopo),
Jawa Tengah (Soedirman), dan Jawa Barat (Arudji Kartawinata).
II.
Pembentukan Tentara Nasional
Jenderal Oerip Soemohardjo, Kepala Staf Umum TKR.
Prosesi pelantikan Kolonel Soedirman menjadi Panglima Besar TKR.
Jenderal Raden Said Soekanto Tjokroadiatmodjo, Kepala Kepolisian Negara untuk yang pertama kali.
Sebagian
pemuda yang tidak puas dengan pembentukan BKR pada umumnya telah membentuk
organisasi-organisasi perjuangan pada zaman Jepang. Organisasi-organisasi itu
besar peranannya bagi tercetusnya proklamasi kemerdekaan. Setelah usulan mereka
mengenai pembentukan tentara nasional “ditolak” oleh presiden dan wakil
presiden, mereka menempuh jalan lain. Mereka membentuk badan-badan perjuangan
sendiri yang kemudian menyatukan diri dalam sebuah Komite van Aksi yang
bermarkas di Jalan Menteng 31. Organisasi ini antara lain dipimpin oleh Adam
Malik, Sukarni, Chairul Saleh, dan Maruto Nitimihardjo. Badan-badan perjuangan
yang tergabung dalam Komite van Aksi, yaitu Angkatan
Pemuda Indonesia (API), Barisan
Rakyat Indonesia (BARA), dan Barisan
Buruh Indonesia (BBI).
Kemudia,
muncul pula badan-badan perjuangan lainnya di Jawa, seperti Barisan Banteng, Kebaktian Rakyat Indonesia Sulawesi (KRIS), Pemuda Indonesia Maluku (PIM), Hizbullah,
Sabilillah, Pemuda Sosialis Indonesia (Pesindo), dan Barisan Pemberontakan Rakyat Indonesia (BPRI) .. yang itu namanya
cukup ekstrimis sekali pemirsa di rumah sekalian, iyaa bukan?? Ada pula badan
perjuangan yang bersifat khusus, seperti Tentara
Pelajar (TP), Tentara Genie Pelajar
(TGP), dan Tentara Republik Indonesia
Pelajar (TRIP).
Pembentukan
badan-badan perjuangan juga dilakukan di Sumatra, Sulawesi, dan pulau-pulau
lainnya. Di Aceh dibentuk Angkatan Pemuda
Indonesia (API) yang dipimpin oleh Sjamaun Gaharu dan Barisan Pemuda Indonesia (BPI) yang kemudian berganti nama menjadi Pemuda Republik Indonesia (PRI) dipimpin
oleh A. Hasymi. Di Sumatera Utara dibentuk Pemuda
Republik Andalas. Di Sumatera Barat dibentuk Pemuda Andalas dan Pemuda
Republik Indonesia Andalas Barat. Di Sulawesi Selatan dibentuk Pusat Pemuda Indonesia (PPNI) dipimpin oleh
Manai Sophian. Kelompok-kelompok yang tergabung di dalamnya adalah Angkatan Muda Republik Indonesia (AMRI)
dan Pemuda Merah Putih dan Penunjang
Republik Indonesua (PRI).
Sementara
itu, tentara Sekutu terus berupaya membebaskan dan mempersenjatai kembali
pasukan-pasukan Belanda yang menjadi tawanan Jepang. Mereka kemudian melakukan
serangkaian tindakan-tindakan yang menjadikan Pemerintah RI kemudian membentuk
tentara nasional. Pemerintah memanggil pensiunan KNIL Mayor Oerip Soemohardjo
dari Yogyakarta dan menugaskan untuk segera membentuk tentara nasional.
Pada
tanggal 5 Oktober 1945 dikeluarkan Maklumat Pemerintah yang menyatakan
berdirinya Tentara Keamanan Rakyat
(TKR). Sebagai pimpinan TKR, pemerintah menunjuk Soeprijadi dan Oerip
Soemohardjo diangkat sebagai Kepala Staf Umum TKR dengan pangkat Letnan
Jenderal. Moh. Suljoadikusumo, bekas Daidanco
PETA, diangkat menjadi Menteri Keamanan Rakyat ad interim.
Dengan
dasar Maklumat Pemerintah itu, Oerip Soemohardjo segera membentuk Markas
Tertinggi TKR di Yogyakarta. Selanjutnya di Pulau Jawa dibentuk 10 Divisi dan
di Sumatra dibentuk 6 Divisi. Berkembangnya kekuatan pertahanan yang sangat
cepat membutuhkan pemimpin yang berwibawa. Supriyadi yang ditunjuk sebagai
pemimpin TKR ternyata tidak pernah menduduki posnya. Oleh karena itu, pada
bulan November 1945 diadakan pemilihan pemimpin tertinggi TKR yang baru. Dalam
pemilihan tersebut, Kolonel Soedirman,
Komandan Divisi V/Banyumas yang pada saat itu sedang memimpin pertempuran di
Ambarawa, terpilih sebagai pimpinan TKR yang baru. Tiga hari setelah Ambarawa
dapat dikuasai kembali TKR, pada tanggal 18 Desember 1945, Soedirman dilantik
sebagai Panglima Besar TKR dengan pangkat Jenderal.
Sejak
terpilihnya Jenderal Soedirman sampai dengan bulan Januari 1946, TKR sudah
mengalami dua kali perubahan nama. Pertama berubah menjadi Tentara Keselamatan Rakyat,
kemudian berubah lagi menjadi Tentara Republik Indonesia (TRI).
TRI kemudian berkembang dengan mempunyai Angkatan Laut dan Angkatan Udara.
Sementara
itu, badan-badan perjuangan yang sudah ada sebelumnya pada tanggal 10 November
1945 mengadakan Kongres Pemuda Seluruh
Indonesia di Yogyakarta. Kongres yang dipimpin oleh Chairul Saleh dan
Sukarni itu dihadiri oleh 332 orang utusan dari 30 organisasi perjuangan pemuda
di seluruh Indonesia. Setelah melalui suatu perdebatan yang sengit, kongres
berhasil membentuk Badan Kongres Pemuda
Indonesia (BKMI). Badan-badan perjuangan itu kemudian ditampung dalam wadah
Biro Perjuangan di bawah menteri
pertahanan.
Pada
tanggal 5 Mei 1947 dikeluarkan Penetapan Presiden yang isinya “dalam waktu sesingkat-singkatnya membentuk
badan-badan perjuangan itu dalam satu wadah yaitu TRI”. Selanjutnya,
pemerintah membentuk suatu panitia untuk melaksanakan penyatuan itu yang
dipimpin oleh presiden dengan dibantu oleh tiga orang wakil ketua, yaitu wakil
presiden, menteri pertahanan, dan panglima. Anggota panitia itu terdiri dari
Kepala Staf Umum TRI dan para pemimpin badan-badan perjuangan. Hasil kerja
panitia itu adalah Penetapan Presiden tanggal 7 Juni 1947 yang menyatakan bahwa
sejak tanggal 3 Juni 1947 pemerintah mengesahkan berdirinya Tentara Nasional Indonesia (TNI) sebagai
satu-satunya wadah perjuangan bersenjata. TNI memiliki pimpinan kolektif yang
terdiri dari bekas pimpinan TKR dan bekas pimpinan badan-badan perjuangan.
Keduanya tetap di bawah satu pimpinan tertinggi, yaitu Panglima Jenderal
Soedirman.
Alat
keamanan lainnya adalah Kepolisian Negara. Pada mulanya, Kepolisian Negara
berada di bawah Kementerian Dalam Negeri. Akan tetapi, pada tanggal 26 Juli
1946 dikeluarkan Penetapan Pemerintah No. 11/SD tahun 1946 yang menyatakan
bahwa Kepolisian Negara berdiri sendiri sebagai sebuah Jawatan Kepolisian Negara di bawah perdana menteri. Pada tanggal 29
September 1946, R. Soekanto Tjokroadiatmodjo diangkat menjadi Kepala Kepolisian
Negara.
Pelopor berdirinya Kepolisian Negara adalah angkatan muda polisi yang sebagian besar bekas anggota polisi dan polisi istimewa pada zaman pendudukan Jepang, yaitu Keisatsutai dan Tokubetsu Keisatsutai. Berbeda dengan PETA maupun Heiho, persenjataan mereka tidak dilucuti oleh Jepang. Hal itu disebabkan Jepang menganut sistem Barat yang menganggap polisi tidak ikut dalam perang, melainkan hanya sebagai pemelihara keamanan. Walaupun demikian, pada pemuda kepolisian itu mempergunakan senjatanya untuk turut serta dalam perjuangan menegakkan kemerdekaan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar